[Semangat] Tak Harus Kutunggu HarDikNas


Apa kabar 51? Sehat? Masih semangat, kan? Iya, dong. Apalagi setelah uang ID cair. Hehe. ^^ Semoga Buletin Angkatan ini bisa memberi manfaat untuk kita semua, ya. Anyway, sekarang tanggal berapa, sih? Tidak terasa ya, kita sudah hampir melewati bulan ke-4 di tahun 2011 ini. Sudah pada dewasa semua nih. J

Aah. Rasanya baru saja tempo hari kita duduk di bangku SD. Baru beberapa hari pula kita berlomba menembus pintu gerbang kelulusan UAN di SMA, plus ketertatihan kita mengikuti USM kampus ini. Baru kemarin kita mencium tangan ayah dan ibu, berangkat ke tempat merakit mimpi. Eh, tahu-tahunya sekarang sudah pada sibuk dengan Statmat ^^.

Bersyukur sekali rasanya, kawan. Kampus ini memberi kita fasilitas yang serba digital, gedung yang megah dan dilengkapi dengan lift, perpustakaan yang luas, plus penantian meja kerja di BPS setelah kita lulus nanti. Gratis. Hebatnya adalah, banyak anak di perguruan tinggi lain harus berjuang keras meraih pendidikan yang sudah serba mahal ini. Sedangkan dengan uang ID sejuta kurang satu koma dua, orang tua kita tak perlu melepas peluh dan penat terlalu banyak karena kita disekolahkan—gratis—oleh Negara.

Coba deh, kita hitung-hitung, jikalau kita tak berhasil sampai di sini, apa mungkin kita sanggup kuliah di fakultas teknik atau kedokteran yang kita mau? Apa bisa kita sampai di Metropolitan ini, tinggal duduk di kelas, memperhatikan dosen mengajar, tanpa mesti keteteran mikirin biaya kuliah? Mari kita andaikan. Kita kuliah di tempat lain, jika sedikitnya satu semester kita perlu dua juta, plus perbulannya kita perlu uang makan dan sewa kos sekitar satu juta, maka kalau sudah 18 bulan kita kuliah, sudah hampir 25 juta biaya dihabiskan, orang tua kita harus mengeluarkan sebanyak itu. Kalau ada 8 semester yang akan kita lewati, artinya kita butuh 48 bulan, sedikitnya 60 juta yang harus ayah dan ibu bayar. Sedangkan di sini, bisa dibilang tak serupiah pun kita direpotkan, kawan.

Kita jauh lebih beruntung dibandingkan anak-anak jalanan yang harus menjadi pengamen, pengasong, atau bahkan pengemis untuk hanya sekadar mencari seteguk air (apalagi sesuap nasi). Dengan uang ID sebanyak yang kita terima, \tiga ribu saja, yang cuma dapat nasi uduk bagi kita, itu sudah sangat berarti bagi orang-orang yang tak seberuntung kita. Rasanya tak ada lagi alasan bagi kita untuk mengeluhkan susahnya memahami Statmat di perkuliahan.

Lalu, siapa sih yang membawa kita ke tahap ini? Tentu saja Tuhan Yang Maha Penyayang yang memberikan semua kenikmatan hidup ini. Pertanyaannya, lewat siapa pertolongan itu disampaikan pada kita? Sejak kapan kita bebas memilih dan meraih pendidikan? Pada siapa kita harus berterima kasih?

Kita semua tahu, sebentar lagi akan tiba Hari Pendidikan Nasional, tanggal 2 nanti. Maka apakah hari itu hanyalah hari yang diperingati saja? Dengan upacara dan serangkaian acara? Tidak! Sungguh hari itu adalah bagian penting dari momen bangsa Indonesia yang sudah memulai mengangkat kembali derajatnya, dengan tangan-tangan Ki Hajar Dewantara  dan pahlawan lainnya. Tanpa Bapak Pendidikan kita itu, pendidikan negeri ini tidak akan bisa semaju sekarang. Tanpa jasa beliau, kita takkan mungkin melihat program-program pemerintah yang memberi pendidikan dasar secara gratis, memberi bantuan ini dan itu. Tanpa segala usaha dan semangat yang dicurahkan oleh Bapak Pendidikan ini, rasanya takkan mungkin ada pelajar dari luar negeri masuk ke sini.

Apa cukup hari pendidikan hanya diperingati saja? Apakah arti 2 Mei 1908 itu hanyalah sebuah kelahiran seorang Raden Mas Soewardi Soeryaningrat? Sekali lagi tidak. Di zaman sekarang, telah banyak Dewantara-dewantara lainnya yang berjuang keras demi pendidikan kita. Kita lihat orang tua kita, peluhnya tak pula kering tuk membuat kita setidaknya tak harus berprofesi lebih rendah dari ayah dan ibu. Kita lihat guru-guru kita, berjuang mengajari kita dengan sabar, untuk membantu kita menjadi anak yang terdidik dan terpelajar. Dosen-dosen kita di sini, meninggalkan anak-anak mereka di rumah hanya untuk memberi kita ujian susulan atau remedial. Takkah kita ingat, ayah menjual motornya untuk biaya kita terbang ke Jakarta, dosen memberi tugas untuk mendongkrak hasil kemalasan belajar kita?

Hebat bukan? Semua itu mereka lakukan selalu, setiap hari, tanpa menunggu tanda bintang melekat di bajunya bahwa orang tua dan guru-guru kita telah banyak sekali berjasa, membuat kita tahu apa rasanya sekolah di bangunan ber-AC ini.

Lalu teman-teman, apa tah yang sudah kita coba berikan untuk orang tua, guru, atau paling tidak untuk diri kita sendiri? Ingatkah kita setiap ada perapelan uang ID, kita mengeluh dan “pray for ID”? Eh giliran saat Kuis atau UAS ditunda, kita kegirangan bukan main. Saat diminta menyisihkan sepuluh dua puluh ribu untuk kegiatan kampus, mulut-mulut kita protes. Tapi saat kita dibayar padahal hanya duduk mendengar dosen mengajar, kita masih saja merasa kurang.

Lalu dengan adanya peringatan Hari Pendidikan Nasional yang ke-103 ini, apa kita masih sama? Masih suka bermalas-malasan, menjadikan buku pajangan berdebu. Apa kita hanya akan begitu? Padahal sudah banyak sekali yang dilakukan para pejuang pendidikan untuk kita, terutama orang tua dan guru-guru kita. Apa yang bisa kita balas untuk mereka, teman? Ada? Puaskah kita hanya dengan nilai C? Mana semangat kita, kawan?! Dulu kita mendaftar di antara 18 ribu peserta USM STIS, dengan semangat api membara—sampai hangus—demi membahagiakan orang tua kita dan menjadi anak yang berpendidikan?

Sudah hilangkah diri kita yang dulu? Haruskah kita menunggu kita tiba di meja seminar agar kita sadar apa yang seharusnya kita lakukan dari sekarang? Apa kita harus selalu menuggu sang 2 Mei tiba? Tidak, teman. Hari untuk pendidikan itu adalah setiap hari, tidak hanya saat menjelang UAS, tidak pula saat tiba tahun ajaran baru. Tapi hari untuk belajar itu adalah setiap saat kita bernafas. Setiap kali jantung kita berdetak lah kita menunjukkan rasa syukur kita pada Yang Esa dan rasa terima kasih kita pada ayah, ibu, bapak dan ibu guru. Itu saja, kawan. Tak perlu kita paksa saat dekat-dekat ujian. Setiap goresan pena kita adalah bentuk semangat dan terima kasih kita.

Kita tahu kita takkan bisa membalas jasa-jasa orang tua dan guru kita. Tapi setidaknya kita akan terus berusaha untuk tidak mengecewakan mereka. Mari, kawan. Tak pantas pula kita hanya menunggu sebuah HarDikNas untuk mengacungkan tangan ke langit, dan berteriak,

“AKU BISA!”

JAYA 51!

Nofriani (fi)

=========

Naskahku di Buletin Angkatan 51 (Angkatanku) di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik. ^___^

PS : Fotonya nyambung ga ya? Kalau nggak yang ini tak tambahin, 😀

2 thoughts on “[Semangat] Tak Harus Kutunggu HarDikNas

Leave a reply to fi Cancel reply